Penduduk Asli Thailand Adalah Suku
Lepas Penatmu di Bobocabin!
Kangen dengan suasana alam Indonesia yang hijau dan menyegarkan? Cobain glamping di Bobocabin, yuk! Mengusung konsep futuristik lengkap dengan teknologi Internet of Things, Bobocabin siap menemani kamu merasakan kesejukan serta tenangnya alam dalam balutan teknologi canggih.
Kabin-kabin yang tersedia pun telah dilengkapi dengan fasilitas khas Bobocabin seperti Smart Window dan B-Pad. Untuk masalah internet, kamu tidak perlu khawatir. Bobocabin tentunya sudah menyediakan Wi-Fi kencang untuk memperlancar semua kegiatan daring kamu! Agar keseruan semain lengkap, Bobocabin juga melengkapi diri dengan fasilitas campire & barbeque.
Pilihannya sendiri cukup beragam. Kamu bisa memilih Bobocabin Ranca Upas, Cikole, Gunung Mas, Batu Malang, Baturraden, Signature Toba, dan Kintamani. Untuk reservasi dan informasi lebih lanjut, unduh dulu aplikasi Bobobox di sini!
Foto utama oleh: Asso Myron via Unsplash
Benarkah Kebaya adalah Pakaian Asli Indonesia?
Tak ada catatan pasti dari mana kebaya berasal, namun kebaya kini identik dengan negara Asia Tenggara terutama di kawasan Semenanjung Malaya, termasuk Indonesia.
Masyarakat mengenal dua jenis kebaya, yaitu kutubaru dan encim. Kutubaru adalah model kebaya yang mengaitkan lipatan di bagian dada kiri dan kanan, adapula yang menggunakan bef atau kain penutup di bagian dada. Kebaya kutubaru diyakini berasal dari Jawa Tengah. Kebaya inilah yang disebut-sebut sebagai pakaian asli Indonesia.
Kebaya encim digunakan warga nusantara keturunan Tionghoa. © Istimewa
Sedangkan encim adalah model kebaya yang diyakini berasal dari budaya pakaian Tionghoa. Model kebaya ini tanpa bef, biasanya dilengkapi renda atau bordir di bagian ujung badan dan lengan. Encim yang sering disebut dengan "kebaya nyonya", ditetapkan sebagai pakaian tradisional di Malaysia dan Singapura. Meski demikian Tionghoa tidak dikenal sebagai asal kebaya, sebab pakaian tradisionalnya adalah cheongsam atau qipao.
Kata kebaya telah muncul dalam dicatat Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles yang kemudian dibukukan dalam History of Java (1817). Bentuk awal kebaya diyakini berasal dari Kerajaan Majapahit (berkuasa hingga 1389), yang digunakan permaisuri dan selir untuk menutupi tubuh yang hanya beralas kemben. Di masa itu kemben merupakan pakaian utama. Ketika Islam masuk ke nusantara, perempuan kraton mulai menutupi tubuhnya dengan kain tambahan dengan bentuk yang sekarang kita kenal dengan kebaya.
Selanjutnya kebaya menjadi pakaian kebesaran perempuan kraton Jawa di Abad ke-V, dengan bahan berupa beludru, sutra ataupun brokat yang digunakan dengan bros dan kain panjang. Masyarakat biasa pun menggunakan kebaya, dengan bahan lebih ringan semacam kain tisu atau sifon tanpa hiasan bros meski masih menggunakan kain panjang.
Perempuan Belanda di Hindia Belanda mengenakan kebaya. © Tropen Museum
Di masa penjajahan, perempuan Belanda yang tinggal di tanah air pun kerap mengenakan kebaya dalam agenda resmi. Mereka menjadikan pakaian ini sebagai identitas kasta, mengikuti para perempuan kraton yang di masa itu memiliki derajat sosial lebih tinggi dibanding masyarakat biasa.
Meski tidak digunakan sebagai pakaian tradisional di banyak daerah di Indonesia, di masa kini kebaya mampu menjadi penanda identitas bangsa. Cara mengenakannya yang memakai stagen, kain batik panjang (jarik), selendang hingga konde membuatnya otentik Indonesia. Apalagi di tahun 1940-an Presiden Soekarno telah menetapkannya sebagai pakaian nasional.
Dari berbagai sumber.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Penduduk Asli Amerika atau Suku Red Indian (juga disebut Native Americans, American Indians, atau Amerindian) adalah pemukim pertama Amerika Utara yang datang dari Asia lebih dari 20.000 tahun lalu. Karena mengikuti hewan buruan, mereka mengembara melewati Selat Bering (dulu tanah genting, kini pemisah titik paling timur Benua Asia dan titik paling barat Benua Amerika). Lambat laun mereka menetap dan berkembang menjadi berbagai suku. Berabad-abad mereka membangun masyarakat teratur. Pada abad ke-16, orang Eropa tiba di Amerika Utara untuk pertama kali. Karena mengira tiba di India (Asia), mereka secara keliru menyebut penduduk asli itu "orang India". Karena itu, penduduk asli Benua Amerika tersebut dikenal dengan nama "Indian" sebagai bahasa Inggris dari kata "orang India". Karena para pendatang dari Eropa tersebut menginginkan tanah, penduduk suku Indian tersebut merasa terancam. Mereka pun bertempur melawan para pendatang Eropa tersebut. Pada abad ke-19, penduduk suku Indian melawan pemerintah Amerika Serikat yang berusaha menggusur mereka, namun akhirnya mereka kalah dan dipindahkan ke reservat, daerah khusus untuk mereka tinggali. Hingga kini masih banyak orang suku Indian yang tinggal dan hidup di sana.
Suku Sioux dan suku lain dari daerah Great Plains hidup di tenda yang diistilahkan dengan tepee. Tepee terbuat dari kulit bison yang diregangkan pada kerangka kayu yang mudah dipasang. Di bagian atasnya ada penutup yang bisa dibuka agar asap dari api unggun bisa keluar.
Tiap suku Indian mempunyai bahasa sendiri. Meskipun terdiri atas berbagai suku, mereka bisa saling berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang dipahami oleh mereka semua.
Kepala suku Indian terakhir yang memimpin perlawanan terhadap "orang kulit putih" adalah Geronimo (1829-1909) dari suku Chiricahua Apache. Ia memimpin serangan dari negara bagian baratdaya hingga ke Meksiko. Akhirnya ia tertangkap dan diasingkan ke Florida. Lalu ia dibebaskan dan menjadi seorang tokoh nasional yang termasyur.
Penduduk asli Amerika utara terdiri atas banyak suku. Mereka umumnya hidup dari berburu, memancing dan bertani. Suku-suku terkenal di antaranya adalah Cheyenne, Comanche, don Sioux yang hidup di Great Plains; Apache, Navajo, dan Pueblo, yang hidup di daerah baratdaya; dan Iroquois, Huron, dan Cherokee, yang hidup di daerah timur, serta Miccosukee yang tinggal di wilayah Everglades (Florida).
Keterampilan perang seorang prajurit tampak dari tanda bulu:
Suku Indian memakai busur dan anak panah, pisau, serta pentung, tombak, sebagai senjata. Banyak pula yang membawa tomahawk. Pada abad ke-16 mereka mendapat senapan dari pedagang di Eropa.
Orang Indian adalah pengrajin yang terampil. Mereka membuat pakaian dan hiasan kepala yang indah. Sepasang sepatu moccasin terbuat dari kulit yang disetik dan dihiasi dengan tali kulit serta aneka warna manik.
Satu setengah juta orang Indian AS hidup di reservat yang mereka kelola sendiri. Reservat Navajo, misalnya, meliputi daerah seluas 6 juta ha di Arizona, New Mexico, dan Utah. Baru-baru ini beberapa Suku Indian pesisir barat laut Pasifik berhasil memprotes, dan memperoleh tanahnya kembali.
Sebelum orang Eropa tiba, suku Indian menduduki sebagian besar wilayah yang sekarang menjadi AS. Suku Indian dikelompokkan menjadi 6 wilayah geografis. Pemukiman Eropa secara bertahap mendesak Suku-suku Indian ke barat dan barat daya. Akhirnya pada 1890 mereka menetap di beberapa reservat yang tersebar.
Mengacu pada KBBI, tato merupakan gambar atau lukisan pada kulit tubuh. Meski memiliki stigma yang buruk di mata sebagian orang, seni tato rupanya merupakan warisan kebudayaan manusia yang sudah ada sejak lebih dari 5.000 tahun lalu. Peradaban Nusantara juga tidak lepas dari seni melukis tato. Tiga suku di Indonesia bahkan memiliki tato dengan ciri khas dan makna tersendiri. Berikut ini adalah tiga suku dengan seni tato asli Indonesia.
Suku Mentawai merupakan suku tertua di Indonesia sekaligus salah satu tertua di dunia. Para pakar sejarah memperkirakan nenek moyang mereka bermigrasi ke Kepulauan Mentawai antara tahun 2000 hingga 500 Sebelum Masehi.
Hingga kini, Suku Mentawai masih memegang teguh adat istiadat dan tradisi mereka. Salah satunya adalah seni tato atau rajah yang mereka sebut Titi. Seni tato asli Indonesia ini merupakan yang tertua di dunia dan diperkirakan sudah ada sejak tahun 1500 SM, lebih tua dari tato Mesir kuno yang muncul tahun 1300 SM.
Suku Mentawai menjadikan tato sebagai alat komunikasi bagi setiap anggotanya. Tato tersebut mewakili identitas mengenai tanah asal, kedudukan sosial dan seberapa hebat sebagai pemburu.
Bagi Suku Mentawai, tato juga menjadi simbol keseimbangan antara kehidupan dan alam sekitar. Karena itu, motif seperti bebatuan, hewan, dan tumbuhan harus mereka abadikan pada tubuh. Selai itu, Mentawai memiliki ratusan motif lain seperti busur, mata kail, duri rotan, tempat sagu dan lainnya. Meski berbeda, tato Mentawai memiliki ciri khas motif berupa garis-garis dengan jarak tertentu, biasanya dengan memanfaatkan jari.
Pengukirannya juga tidak sembarangan dan terbilang ekstrem sebab masih menggunakan cara tradisional. Sipatiti atau Sipaniti, orang yang pandai menato, menggunakan jarum kecil yang terpasang pada kayu panjang. Ia mencelupkan jarum pada pewarna yang terbuat dari arang tempurung kelapa dan perasan tebu kemudian mengukirkannya pada kulit dengan cara dipukul-pukul pelan.
Prosesnya sendiri cukup memakan waktu. Pengukiran biasanya bermula di pangkal lengan saat anggota menginjak usia 11-12 tahun. Pengukiran kemudian berlanjut ke bagian paha ketika memasuki usia dewasa, 18-19 tahun. Memasuki usia lebih dari 19, penatoan berlanjut ke bagian dada, telapak tangan, dan pusar. Setelah itu, tato pun diberikan ke seluruh tubuh.
Sayangnya, seni tato asli Indonesia ini semakin jarang terutama karena masuknya agama dan pendidikan. Jika penasaran, kamu bisa melihat seni tato Suku Mentawai di Desa Madobak, Ugai dan Matotonan.
Baca Juga: Mengenal Suku Buton, Suku Bermata Biru Di Indonesia
Seni tato asli Indonesia selanjutnya bisa kamu temukan di Pulau Kalimantan. Tradisi tato yang dikenal dengan istilah Tutang ini biasanya dipraktikkan oleh Suku Dayak Iban, Tunjung, Taman, Daratan, Kenyah dan Kayan. Seni rajah Suku Dayak juga termasuk salah satu yang tertua di dunia yang kemungkinan sudah ada sejak tahun 1500-500 SM.
Pengukiran dan peletakannya pada tubuh juga tidak boleh sembarangan sebab masing-masing bentuk memiliki makna dan fungsi tersendiri. Motifnya sendiri cukup beragam, mulai dari salampang mata andau, buah terung, buah enggang. Ketam, kelingai hingga kalajengking. Motif tersebut juga memiliki makna tersendiri.
Tato di leher biasanya menunjukkan kedudukan seperti timanggong atau panglima sedangkan tato buah terung memiliki makna pangkat bagi masyarakat Dayak. Selain itu, tato kelingai yang biasanya diukir pada paha atau betis melambangkan hidup yang tak pernah lepas dari alam.
Bagi Suku Dayak, tato bisa menjadi simbol identitas kelompok dan menunjukkan bahwa pemilik tato merupakan keturunan asli Dayak. Tato juga merupakan simbol strata sosial dan kelas ekonomi. Semakin banyak tato berarti semakin tinggi derajat mereka di masyarakat.
Selain itu, tato asli Indonesia tersebut juga:
Pengukiran pada tubuh biasanya menggunakan duri pohon jeruk atau salak. Selanjutnya, Pantang (sebutan untuk penato) mencelupkan duri pada tinta kemudian memukul-mukulnya pada kulit objek tato. Tinta tersebut umumnya terbuat dari jelaga lampu yang telah tercampur dengan air gula atau perasan tebu agar lebih pekat.
Saat ini, masih ada generasi muda Suku Dayak yang mempertahakan tradisi tato mereka. Hanya saja, jumlahnya tidak sebanyak pendahulu mereka.
Baca Juga: Simak Mitos Di Indonesia Yang Banyak Orang Percayai Berikut Ini!
Papua memiliki tiga suku yang mempunyai tradisi membuat tato. Salah satunya adalah Suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Seni tato asal Indonesia ini diperkirakan sudah muncul sejak zaman Neolitikum. Orang Austronesia dan Asia yang bermigrasi ke kawasan Papua di zaman prasejarah sekitar 3.000 tahun lalu berperan dalam mengenalkan tradisi tato pada Suku Moi.
Berbeda dengan tato modern yang bisa bermotif biasanya hingga rumit, motif tato Suku Moi terbilang sederhana. Motif tersebut umumnya terdiri dari pola geometris dan garis-garis melingkar dengan titik-titik berbentuk segitiga kerucut atau tridiagonal.
Desain tatonya kemudian akan mengikuti bentuk tubuh yang hendak di tato. Beberapa bagian tubuh yang kerap menjadi objek tato adalah dada, pipi, kelopak mata, betis, pinggul, dan punggung.
Tinta untuk tato biasanya terbuat dari campuran getah pohon langsat (loum) dengan arang halus (yak kibi) dari hasil pembakaran kayu. Karena penggunaan bahan tersebut, warna tato juga cenderung simple dan terbatas pada warna hitam, putih dan merah. Pengukirannya kemudian menggunakan duri pohon sagu atau tulang ikan yang dicelupkan pada tinta dan ditusukkan pada kulit bagian tubuh.
Bagi Suku Moi, tato merupakan hiasan tubuh sekaligus identitas diri. Semakin banyak tato, maka semain besar rasa bangga mereka. Sayangnya, seni tato asli Indonesia ini terancam punah dan hanya bisa kamu jumpai pada generasi tua Suku Moi. Karena sudah dianggap kuno dan tergerus modernisasi, generasi muda Suku Moi sudah meninggalkan tradisi tato tersebut.
Baca Juga: Perkaya Wawasan Dengan Kunjungi Destinasi Wisata Budaya Toba Ini!